Resensi Film : Assalamualaikum Beijing

Dalam kisah nyata adakah perempuan kini yang setegar Asma dengan pikiran positif pada apa yang menjadi ketetapan Allah padanya? Dan adakah pula lelaki yang setulus Zhong-wen (Chung-Chung) dalam ketulusan berjuang dan mencintai?

InsyaAllah, Semoga penulis dan juga pembaca adalah salah satunya... :)



Mulai tayang di Bioskop pada tanggal 30 Desember 2014 (Penulis nonton tanggal 02 Januari 2015)
Sutradara Film : Guntur Soeharjanto
Pemeran          : Revalina S. Temat, Morgan Oey, Ibnu Jamil, Laudya Cynthia Bella, Desta, Ollyne Apple

Film ini tentang kisah Asmara, Dewa, dan Zhongwen.

Kisah berawal saat mendekati perhelatan nikah, Asmara (Asma) mendapatkan pengakuan dari sang calon suami, Dewa, bahwa dia telah telanjur menghamili Anita. Sontak Asma kaget tapi sebagai wanita tegar, dia mengikhlaskan. Dewa pun menikahi rekan sekantornya itu. Asma lantas meninggalkan Jakarta, dan berangkat ke Beijing merintis karier sebagai novelis dan penulis kolom sastra. Di Kota Tirai Bambu itu, dia disambut sahabatnya, Sekar bersama suaminya, Ridwan. Asma pun akhirnya bekerja di sana pada koran edisi bahasa Indonesia terbitan Tiongkok. Kolom yang ditulisnya, Assalamualaikum Beijing, cepat digemari dan menjadi kolom yang selalu dinanti para pembaca koran.

Ditengah aktivitasnya mencari inspirasi dan sumber tulisan di Beijing, Asma pada suatu waktu bertemu dengan seorang pemuda lokal bernama Zhong-wen di sebuah bis kota. Pertemuan berlanjut dan semakin akrab, Si pemuda memanggil Asma dengan panggilan Ashima, hal ini karena Zhong-wen terkenang legenda daerahnya.

Akan tetapi selagi hubungan mereka kian mesra, tiba-tiba Dewa yang sedang membaca koran mendapati kolom Asma, Assalamualaikum Beijing. Dengan modal cintanya yang tetap terjaga pada Asma, dia pun langsung menyusul ke Beijing, Dewa ingin menceraikan Anita yang telah melahirkan anaknya demi menikahi Asma.

Klimaks terjadi, ditengah kemesraan Asma dan Zhong-wen, datanglah Dewa dengan niat menyampaikan maksud dan harapannya pada Asma. Akan tetapi Asma sudah terlanjur kecewa, dia tak mau mempedulikan, baginya semuanya sudah masa lalu yang sebaiknya dilupakan saja. Dia tak mau lagi hidupnya diganggu oleh Dewa. Tapi meski demikian, Dewa tak putus asa, dia tetap menaruh harapan melalaui surat yang dititipkannya sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Asma yang rencananya akan diajak Zhong-wen untuk menyaksikan patung Ashima, tiba-tiba mendadak jatuh sakit dan memutuskan pulang ke Jakarta untuk berobat karena ternyata mengidap APS yang berakibat stroke fatal, bisa lumpuh, buta, bahkan mati.

Zhong-wen pun medapat kabar bahwa Asma telah balik ke Indonesia, tetapi alasan yang didapatkannya bahwa Asma pulang karena ada urusan keluarga yang harus diselesaikannya. Kesunyian pun dirasakan Zhong-wen, sambil mengenang dan mencari tahu kabar Asma lewat email, dia belajar Islam dan pada akhirnya mengantarkannya mendapat hidayah dan memutuskan untuk menjadi seorang mualaf.

Di Indonesia, Asma strok dan saat tengah menjalani proses penyembuhan, Sekar temannya datang menjenguknya dari Beijing. Percakapan dua sahabat yang baru kembali bertemu pasti menghangatkan, tak sengaja pembicaraan mereka menyinggung tentang kabar Zhong-wen. Asma berkilah bahwa dia tak lagi pernah membuka dan membaca kiriman emailnya. Suatu saat, di rumah Asma, Sekar dengan rasa penasaran membuka email Asma dan mendapatkan email masuk Zhong-wen, yang kemudian dibalasanya dengan undangan untuk mendatanginya di Indonesia.

Bersama Ridwan, Zhong-wen akhirnya datang di Jakarta, di rumah Asma yang secara bersamaan juga dengan kedatangan Dewa. Kedatangan Zhong-wen inipun disambut dengan penyakit Asma yang muncul kembali. Kali ini penglihatan Asma tiba-tiba menghilang, diapun segera dibawah rumah sakit. Dokter mengungkap bahwa penglihatan Asma masih bisa diselamtakan, tetapi dari penyakit tersebut Asma divonis tak bisa berbicara.

Dalam keadaan ini, Asma hampir prustasi dengan kisahnya bersama Zhong-wen, sekalipun Dewa sudah mengikhlaskan Asma kepada Zhong-wen. Akan tetapi Zhong-wen  justru siap menerima Asma apa adanya, dia mengaggap Asma adalah jembatan baginya menemukan cahaya, dia sudah terlanjur cinta terhadap Asma. Zhong-wen bertekad untuk menjadikan Asma sebagai istrinya.

Pernikahan dilaksanakan, Asma pun untuk yang kedua kalinya akhirnya ke Beijing lagi, tapi kali ini sudah sebagai istri Zhong-wen. Meraka melaksanakan bulan madu hingga akhirnya kunjungan ke patung Ashima yang sempat tertunda akhirnya teralisasikan. Ya, mereka datang dengan penuh kebahagiaan sebagai pasangan suami istri.

***Jika tak kau temukan cintamu, biarkan cinta menemukanmu***

Sebuah catatan :
Dalam film ini Lokasi syuting film di lakukan di luar negeri karena langsung dari Beijing, dengan memperlihatkan Tembok Besar Cina dan panorama khas Yunan. Lewat film ini pula, terungkap tidak sedikit penduduk Republik Rakyat Tiongkok adalah komunis atau atheis semua, karena masih ada masjid-masjid dan umat beragama pun bebas beribadah sesuai keyakinan masing-masing. Islam bukanlah agama yang asing, Islam adalah agama murni dalam pandangan penduduk Beijing.

Skenario film ini ditulis Alim Sudio berdasarkan novel laris bertajuk sama karya Asma Nadia. Soundtracknya, Moving On dinyanyikan oleh Ridho Rhoma.

Pada akhirnya, inilah film drama penutup 2014 dan pembuka tahun 2015 yang patut diapresiasi. Memperkenalkan bagaimana Islam di Cina, budaya lokal yang sangat dijunjung tinggi, tradisi filosofi minum teh, serta yang lainnya sebagai inspirasi yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita akan gambaran di belahan dunia yang lain.

Sebagai penutup tentu masih ada yang penulis sayangkan sebagai catatan, film ini bagi saya sendiri masih sangat nampak keberpihakannya pada pasar, karena sebagai film Islam ada hal yang tidak konsisten dalam beberapa adegannya. Ya, Semoga saja film-film Islam selanjutnya dapat menyempurnakan hal yang kurang tersebut. :)

Lorong 1 Jl Urip Sumoharjo Makassar, 03 Januari 2014

Kasri Riswadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar Dari Prof dr Budu

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona