Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2016

Surat Untuk Para Mubalig

Gambar
jamaah bukan mubalig "Tahukah anda, bahwa kalimat yang paling dinantikan oleh sebagian besar jamaah saat hendak mendengarkan ceramah adalah kalimat, "jamaah, ini yang terakhir atau yang paling terakhir'." Saya terkadang heran dengan bapak-bapak mubalig. Di era yang bapak sendiri menyebutnya sebagai era modern, justru masih sangat tradisional dalam membawakan suatu ceramah. Dari konsep ceramah, gaya dan model pemaparan, hingga penggunaan bahasa. (Baca : kurang inova tif). Selain itu, penggunaan durasi waktu yang tidak diperhatikan baik untuk dikelola secara proporsional juga menjadi suatu hal yang sangat vital. Terkadang materi ceramah pun sebenranya baik namun karena pengelolaan waktu yang tidak pas akhirnya ceramah itu menjadi kabur dan akhirnya terasa membosankan bagi jamaah. Ini kesah kami, maka sebagai jamaah yang baik tentu dibalik keresahan itu ada masukan dan harapan kami pada bapak mubalig agar berbenah dan selalu meningkatkan

Mubalig dan Ekspektasi Jamaahnya

"Kan keren kalau ustadnya bijak begitu, arif, berwawasan, bersahabat dan komunikatif, 30 menit pun jadinya tak terasa." Sedikit curhat, jujur ya (sebab saat puasa tak boleh bohong), saya kadang merasa resah atas sikap dan gaya para mubalig kita khususnya mereka yang gemar menebar kebencian, permusuhan, tidak toleran, hingga ia yang suka merampas hak Tuhan atas monopoli kebenaran yang seolah hanya miliknya. (Baca: tuduh kafir, masuk neraka). Seolah dengan ceramah yang disampaikan, kita menjadi mengalami proses yang disebut penjajahan kognitif. Tiap malam dan subuh hari kita diceramahi dengan orang berbeda tapi konten dan gaya yang rata-rata itu-itu saja, untung-untung kalau kita jamaah 'tidak dimarahi dan dibentak-bentak lagi'. Sebab yang saya tahu, subtansi dakwah (ceramah) kan adalah pendidikan, pencerahan, sebagai asupan nutrisi spiritual atas para jamaah. Mubalig sejatinya adalah mendidik, memberikan pencerahan dan bukan justru memusuhi kita (para jamaah). Alhamd

'Ammuntuli Bulang'

Gambar
Kerinduan setelah berpisah selama kurang lebih sebelas bulan lamanya, menjadikan Ramadhan begitu dinanti kehadirannya dan disambut dengan penuh suka cita. Dari masjid yang dibersihkan untuk lebih bersih dari sebelumnya, volume speaker yang disetel untuk lebih mengaung dari sebelumnya, jamaah masjid yang tiba-tiba melimpah ruah dari sebelumnya, sajadah yang keluar dari kediamannya, kitab Quran yang keluar dari musiumnya, hingga pedagang cendol dan es buah mu siman yang akan kembali menghiasi sepanjang jalan-jalan. Ramadhan memang seolah membangunkan banyak kebiasaan yang tak siuman selama berbulan-bulan di luar bulan tersebut, sehingga wajar adanya kalau orang beramai-ramai menyambutnya dengan suka cita. Di rumah kami, sebagaimana juga di Ramadhan-ramadhan sebelumnya, selain kebiasaan pada umumnya, kami menyambut ramadhan dengan sebuah tradisi yang kemudian kami menyebutnya 'ammuntuli bulang' (menyambut bulan). Saya tidak tahu pasti asal usul dari tradisi