Belajar Dari Prof dr Budu



Prof. dr. Budu, Ph.D.


Sosok Inspirasi

Rasa-rasanya sudah lama saya tidak mengikuti training motivasi. Suatu kegiatan dimana seseorang menyampaikan nasihat-nasihat, dibantu dengan peralatan audio visual yang terkadang sampai membuat kita menangis. Mungkin terakhir kali mengikuti training semacam ini awal-awal maba dulu. Sekarang saya sudah tidak tertarik dengan hal seperti itu.

Namun tiba-tiba hari itu saya serasa mendapatkan motivasi dan energi yang begitu luar biasa. Motivasi ini didapat bukan dalam acara training motivasi, lalu yang menyampaikan bukan pula seorang motivator atau dai, namun dari seorang dokter sekaligus akademisi. Dialah Prof dr. Budu, Ph.D, wakil rektor IV Unhas yang adalah alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).

Prof Budu, yang kebetulan saya bertugas  melakukan wawancara untuk kolom profil tokoh di sebuah majalah yang kami kelola bersama teman-teman AMM. Ini pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan beliau, dalam wawancara tersebut, bersama seorang teman memasuki ruangan kami disambut dengan penuh keramahan dan kehangatan. Diminta untuk menunggu beberapa saat kerena secara bersamaan beliau juga kebetulan ada tamu, selepas itu kami sudah membuka diskusi dan wawancara. Beliau mengingatkan terlebih dahulu bahwa dia orangnya santai, jadi wawancaranya lepas-lepas saja.

Ada beberapa cerita menarik dari Prof Budu, beliau ini adalah salah satu inisiator berdirinya sekaligus dekan pertama FK Unismuh Makassar (fakultas di kampus saya yang setiap tahun selalu menjadi kuota rebutan). Namun begitu ia tetap merendah, pendirian FK Unismuh kata beliau posisinya hanyalah sebagai mediator, karena jauh sebelumnya pihak kampus biru memang sudah merencanakan hal itu. Akan tetapi Unismuh membutuhkan ahli yang bisa memediasi langkah untuk mendirikan fakultas kedokteran. 

Atas dasar itu bagi Prof Budu, ini bukanlah sekedar panggilan profesionalisme tapi jauh dari itu adalah panggilan kekaderan. Sebagai kader persyarikatan ia merasa tak mampu menolak permintaan tersebut, maka saat itu juga tanpa harap imbalan dan imin-imin sama sekali, dengan potensi jaringan dan kemampuannya, ia mulai bekerja dengan tekad kuat sampai akhirnya FK Unismuh memperoleh SK pendirian oleh Dikti. 

Atas dedikasinya, Dokter spesialis mata ini pun diangkat sebagai Dekan pertama di Fakultas termuda Unismuh itu. Awalnya ia menolak, karena bagi dia cukup membantu dari luar saja. Apalagi jabatan dan tugasnya di Unhas (Kampus tempatnya mengabdi) juga tidak sedikit. Bagi dr Budu dirinya seorang tipikal yang sangat mengedepankan profesioanalisme,  berkonsentrasi fokus dan kerja keras, alasan inilah yang membuatnya sempat menolak. Tapi atas bujukan Kiai Djamaluddin Amien, dirinya lagi-lagi tak dapat menolak permintaan tersebut.

Profesionalisme, kata itu memang jadi mantra dr Budu dalam menapaki karier selama ini.  Karena prinsip itu pula, saat ditetapkan sebagai Dekan FK Unismuh, ia sempat meminta izin di Unhas untuk fokus dalam amanahnya di Unismuh, sampai ia merasa fakultas tersebut telah matang dan siap diserahkan kepada penerusnya.

Profesionalisme dan totalitas. Saya pun jadi penasaran dan menanyakan sikap tersebut belajar dari siapa dan sejak kapan ia terapkan?. Profesionalisme kata beliau, memang harus jadi prinsip, tapi ia menekankan sikap ini ia bangun dalam dirinya tak lepas dari terpaan kaderisasi yang pernah dilaluinya di IMM sejak mahasiswa s1 dulu. 

IMM kata dia banyak mengajarkan tentang kedisiplinan dan keinginan untuk terus belajar. Ia sendiri aktif di IMM antara tahun 1985-1993. Beliau menjadi ketua komisariat IMM FK Unhas setahun setelah dikader pada periode 1986-1987.

Selama kepemimpinannya di IMM, banyak prestasi dan terobosan yang dilakukannya. Bahkan di zamannya IMM FK menjadi patron gerakan di Unhas. Animo mahasiswa  terhadap si merah marun terlihat disetiap perkaderan yang dilakukan selalu penuh bahkan lebih dari kuota yang disediakan. Lembaga mahasiswa pun baik itu senat, unit kegiatan, lembaga dakwah kampus, semuanya tak luput dikuasai oleh IMM. Saking identiknya, saat itu untuk menjadi asisten laboratorium di FK Unhas, persyaratannya adalah dia kader IMM.

"Intinya IMM pada waktu itu sangat diperhitungkan karena dianggap hadir sebagai rahmat  di lingkungan masyarakat kampus merah khususnya di Fakultas Kedokteran," pungkasnya.

"Karena IMM di Unhas saat itu, pola pikir terbalik. Mahasiswi dari malu berjilbab menjadi malu karena tidak berjilbab," kata beliau mengenang masa itu.

Akhirnya, saya berkesimpulan atas sejarah yang diletakkan dr Budu di zamannya. Saya pun mengembalikan pada diri sendiri dan kader IMM sekarang ini, sudah adakah sejarah yang kita buat untuk dikenang di masa mendatang seperti dr Budu?

"Nanti akan kuceritakan 15 tahun yang akan datang," gumamku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona