Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona


Catatan Hari Tuberculosis Sedunia, 24 Maret 2020

Opini ini dalam versi cetak di Tribun Timur*

Coronavirus atau Covid-19 boleh menjadi perhatian utama dan serius belakangan ini. Tetapi hari ini kita perlu diingatkan bahwa ada sebuah penyakit menular yang tak kalah dahsyat dan mematikan, ialah Tuberculosis atau disingkat TBC.

TBC merupakan penyakit klasik yang telah eksis sejak pertama kali ditemukan 24 Maret 1882. Meskipun sudah ada pengobatannya, ia masih tetap mengancam, terlebih di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) Global TB Report 2019 dan Data Kementerian Kesehatan  menyebut estimasi pengidap TBC di Indonesia mencapai 845 ribu kasus  yang menempatkannya pada posisi tiga dunia dalam daftar negara dengan kasus TBC tertinggi.

Sebuah angka yang fantastis, tetapi sayangnya upaya dan kepedulian kita untuk mencegah penularan, menemukan kasus, merawat dan kemudian mengobati mereka yang terjangkit penyakit ini masih jauh dari cukup. Di tengah situasi tersebut, kita diperhadapkan lagi dengan pandemi Covid-19 yang hampir sama dengan TBC yakni menular melalui droplet. Di sinilah sebuah tantangan akan pentingnya menggalang soliditas dan solidaritas dengan melibatkan semua elemen untuk bersama-sama memerangi TBC guna mewujudkan eliminasi TBC serta melawan Covid-19 dengan memutus mata rantainya.

Gerakan melawan TBC sendiri telah digalakkan oleh sejumlah kelompok masyarakat, sebutlah seperti Community TBC Care Aisyiyah Sulawesi Selatan, Kareba Baji, Daeng TB serta beberapa komunitas yang tergabung dalam kelompok masyarakat peduli (KMP) TBC. Komitmen mereka tak perlu diragukan lagi dan momen hari TBC sedunia ini sekiranya mengajak kita untuk ikut serta dalam memberantas TBC dengan mengetahuinya, menjalankan pola hidup sehat serta segera mendatangi layanan ketika menemukan gejala.

Masih Minim Sosialisasi

Dibandingkan dengan Covid-19 yang baru beberapa bulan sudah sangat diketahui seiring dengan persebaran wabah dan informasinya yang deras, informasi tentang TBC memang menjadi sedikit tenggalam. Demikian telah berlangsung lama, sebelum merebaknya Covid-19 pun, ia tidak seperti sejumlah penyakit lain yang kerap menjadi momok di masyarakat, TBC relatif tidak masuk daftar penyakit yang mengkhawatirkan. Padahal, penyakit yang jamak dipahami menyerang saluran pernapasan ini ternyata merupakan salah satu penyakit menular yang mematikan. Rilis WHO TBC kini bersaing dengan HIV jadi penyakit infeksi penyebab kematian terbanyak di dunia. Di Indonesia bahkan dengan jumlah sebesar 93.000 jiwa meninggal dunia setiap tahun karenanya.

Meski demikian, perhatian publik terhadap penyakit ini pun masih kurang. TBC memang dapat dijumpai pada berbagai lapisan masyarakat, tetapi pengetahuan terhadap penyakit ini cenderung belum memadai. Hal tersebut terekam dari sebuah hasil penelitian analisa situasi TBC yang dilakukan TB Care Aisyiyah bersama Peneliti dari Universitas Indonesia di sejumlah daerah se-Sulsel pada 2017 lalu. Mereka menilai, sosialisasi tentang penyakit TBC kepada masyarakat, baik yang dilakukan pemerintah maupun pihak swasta, masih kurang. Masih ada warga, bahkan yang berpendidikan menengah dan tinggi, memahami bahwa TBC adalah penyakit keturunan.

Pemahaman tentang gejala TBC pun masih kurang dikenali. Gejala utamanya berupa batuk terus-menerus selama dua minggu atau lebih. Ada pula gejala tambahan, seperti batuk berdahak yang disertai darah, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, berkeringat di malam hari meski tanpa aktivitas, sesak nafas dan nyeri dada. Namun orang yang memiliki gejala tersebut belum mutlak terkena penyakit TBC, mereka baru orang yang diduga atau disebut suspek TBC. Hak vonis TBC hanya dimiliki oleh tenaga kesehatan, setelah mereka melakukan pemeriksaan dahak melalui tes cepat molekuler (TCM), atau pemeriksaan dengan menggunakan rontgen. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk segera ke Puskesmas apabila memiliki gejala tersebut.

Melihat kondisi ini, maka persoalan TBC memang bukan hanya menjadi peran pihak terkait. Semua perlu berkerjasama dan bersatu menanggulangi penyakit tersebut. Sebab TBC dapat menjangkiti semua orang tanpa tebang pilih, tidak mengenal agama, etnis, atau bangsa. Melawan penyakit ini sekali lagi bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan semua kalangan. Jika semua komponen masyarakat terlibat dalam penanggulangannya, maka tidak mustahil penyakit TBC dapat sirna dan target eliminasi TBC tahun 2030 dapat terwujud.  (*)
_______________________________________

Opini ini sebelumnya juga telah dimuat di Koran Harian Tribun Timur edisi Selasa, 24 Maret 2020 serta versi daring dengan link https://makassar.tribunnews.com/2020/03/24/tuberculosis-di-tengah-pandemi-corona

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu