Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Tak Merayakan Malam Pergantian Tahun

Gambar
Kembang api boleh mulai mengudara, petasan mulai diletuskan, jalan-jalan mulai rame, cafe-cafe mulai penuh, yang sepi mulai semarak, atau jenis barang tertentu mulai laku bahkan hampir raib. Itulah petanda tibanya malam pergatian tahun, suatu ritualitas yang selalu dinanti banyak orang untuk tidak dilewatkan. Namun itu tidak bagi saya, seperti juga di tahun-tahun sebelumnya. Kenapa? Berikut beberapa alasannya: Pertama, bagi saya pergantian tahun itu hanya soal angka, setelah satu ya dua, setelah dua ya tiga dan begitu seterusnya. Banyak hal lain yang lebih jelas, subtantif dan lebih perlu dirayakan. Kedua, soal tahun itu banyak versi. Sependek yang saya tahu, selain tahun dalam hitungan masehi, ada pula dalam hitungan hijriyah, Saka, Jawa, Imlek dan masih banyak lagi. Kenapa tidak dirayakan semua? Kenapa hanya salah satunya, atau dua saja? Apa ia merayakan yang salah satu itu memang pilihan atau hanya sekadar ikut-ikutan? Ketiga, kalaupun mesti dirayakan, saya punya perganti

Buya Sang "Guru Bangsa" yang Sering Dikafirkan

Gambar
Kasri yang tersenyum sumbringah saat pertama kali berjumpa langsung dengan Buya Syafii Maarif, beberapa tahun silam Keberpihakan menjadikan seseorang bersiap diri ditentang, dibuly. Jika tidak siap maka bijaksananya adalah diam.(Stewart, 2011). Saya merasa kira-kira begitulah sikap Buya Ahmad Syafii Maarif, keberpihakan dan siap ditentang. Dengan kasus Ahok yang dituding telah menistakan Al Qur'an lewat Al Maidah 51, Buya bisa saja tak akan dibuly habis-habisan seperti beberapa hari ini, jika ia diam atau tidak perlu menanggapi semua permintaan media terkait sikapnya tentang kasus Ahok ini. Tetapi Buya memilih idealisme dan lebih baik dibaik dibuly daripada diam melihat segala subjektivisme banyak pihak dalam menilai kasus Ahok ini. Tanpa ingin menulis kembali pendapat-pendapat Buya tentang persoalan Ahok ini, saya kira beliau sudah memikirkan semuanya termasuk konsekwensinya. Toh dibuly, di tuduh antek barat, liberal, bahkan kafir bukanlah hal baru bagi Buya untuk

Iblis Terusir dari Surga karena Egonya

Gambar
Mengapa ya? Setiap melihat hasil foto bersama, mata kita pertama kali langsung tertuju pada foto diri kita sendiri, baik itu untuk memastikan bahwa pose kita oke, layak publish, tampan atau cantik. Kita kadang tak peduli pada pose bersama, kita hanya peduli pada diri kita. Hmm, kata teman, itu karena ego yang ada dalam diri kita. Ego? Bukankah iblis terusir dari surga karena egonya?

Peluncuran Komik "Bengkel Buya"

Gambar
Tak sempat foto langsung bersama Buya, Jadinya foto bareng sama Mas Wisnu Nugroho, Pimred Kompas.com Menjadi terkenal kata Buya, kadang enak juga, memuaskan, jadi populer. Tapi hidup jangan hanya sampai di situ. Komik “Bengkel Buya; Belajar dari kearifan Wong Cilik” diluncurkan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (29/8) lalu. Peluncuran ini dirangkaikan dengan Bincang Komik yang mengahadirkan Tim Kraetif Bengkel Buya, Bambang Tri Rahadian atau Beng Rahadian serta Wisnu Nugroho selaku praktisi media. Dalam bincang-bincang ini, Tim Kreatif pembuatan Komik, Beng Rahadian mengemukakakan, ada lima kisah ditampilkan dalam komik ini, yaitu “Bengkel, Taksi, Tugimin, Suparmin, dan Teknisi Kompor. “Semua isi dan penggambaran dalam komik semuanya diambil dari kumpulan tulisan Buya,” bebernya. Sementara proses pembuatan komik memakan waktu kurang dari satu tahun, kesulitannya terletak pada menerjemahkan tulisan dalam bentuk visual. “Viasualisasi kan dari tu

Tamasya di Kota Solo

Gambar
di Solo 😉 Bicara Solo, bukan sekadar bicara tentang kota asal dari Presiden RI saat ini, bapak Joko Widodo, bukan juga hanya mengenalnya sebagai kota kelahiran sang tokoh reformasi, M Amien Rais. Bicara Solo, berarti bicara tentang sejarah dan kebudayaan. Kota yang dengan nama resmi Surakarta ini, memang identik dengan sejarah, banyak peristiwa bersejarah dari perjalanan bangsa Indonesia tertoreh di kota ini.  Begitu pula sebagai kota budaya, Solo bersama kota Yogyakarta sud ah sejak lama telah menjadi dua barometer kota kebudayaan Nusantara. Bicara Solo, tentu saja juga bicara tentang kota pendidikan. Memang dari segi jumlah masih kalah jauh dari Yogyakarta, Bandung atau Malang, tapi dari segi iklim rasanya kota Solo tak bisa dikesampingkan. Setidaknya iklim itu sebagaimana kami rasakan di kampus UMS dan sekitarnya selama 3 hari ini. Bicara Solo, juga berarti bicara tentang manusianya. Setidaknya ini menurut penilaian Basri, teman yang baru pertama kali

Senyum Bersama Ustad Shamsi Ali

Gambar
Tersenyum bersama Ustad Shamsi Ali (Imam Besar Masjid New York). Kata beliau: Donal Trump, Capres kontroversial AS yang dikenal keras dan sangat rasialis saja luluh karena senyuman, apalagi itu senyum seorang Muslim. Tersenyumlah, kalau gigimu takut kelihatan, tahanlah, seperti yang saya contohkan dalam foto di atas. 😃

Surat Untuk Para Mubalig

Gambar
jamaah bukan mubalig "Tahukah anda, bahwa kalimat yang paling dinantikan oleh sebagian besar jamaah saat hendak mendengarkan ceramah adalah kalimat, "jamaah, ini yang terakhir atau yang paling terakhir'." Saya terkadang heran dengan bapak-bapak mubalig. Di era yang bapak sendiri menyebutnya sebagai era modern, justru masih sangat tradisional dalam membawakan suatu ceramah. Dari konsep ceramah, gaya dan model pemaparan, hingga penggunaan bahasa. (Baca : kurang inova tif). Selain itu, penggunaan durasi waktu yang tidak diperhatikan baik untuk dikelola secara proporsional juga menjadi suatu hal yang sangat vital. Terkadang materi ceramah pun sebenranya baik namun karena pengelolaan waktu yang tidak pas akhirnya ceramah itu menjadi kabur dan akhirnya terasa membosankan bagi jamaah. Ini kesah kami, maka sebagai jamaah yang baik tentu dibalik keresahan itu ada masukan dan harapan kami pada bapak mubalig agar berbenah dan selalu meningkatkan

Mubalig dan Ekspektasi Jamaahnya

"Kan keren kalau ustadnya bijak begitu, arif, berwawasan, bersahabat dan komunikatif, 30 menit pun jadinya tak terasa." Sedikit curhat, jujur ya (sebab saat puasa tak boleh bohong), saya kadang merasa resah atas sikap dan gaya para mubalig kita khususnya mereka yang gemar menebar kebencian, permusuhan, tidak toleran, hingga ia yang suka merampas hak Tuhan atas monopoli kebenaran yang seolah hanya miliknya. (Baca: tuduh kafir, masuk neraka). Seolah dengan ceramah yang disampaikan, kita menjadi mengalami proses yang disebut penjajahan kognitif. Tiap malam dan subuh hari kita diceramahi dengan orang berbeda tapi konten dan gaya yang rata-rata itu-itu saja, untung-untung kalau kita jamaah 'tidak dimarahi dan dibentak-bentak lagi'. Sebab yang saya tahu, subtansi dakwah (ceramah) kan adalah pendidikan, pencerahan, sebagai asupan nutrisi spiritual atas para jamaah. Mubalig sejatinya adalah mendidik, memberikan pencerahan dan bukan justru memusuhi kita (para jamaah). Alhamd

'Ammuntuli Bulang'

Gambar
Kerinduan setelah berpisah selama kurang lebih sebelas bulan lamanya, menjadikan Ramadhan begitu dinanti kehadirannya dan disambut dengan penuh suka cita. Dari masjid yang dibersihkan untuk lebih bersih dari sebelumnya, volume speaker yang disetel untuk lebih mengaung dari sebelumnya, jamaah masjid yang tiba-tiba melimpah ruah dari sebelumnya, sajadah yang keluar dari kediamannya, kitab Quran yang keluar dari musiumnya, hingga pedagang cendol dan es buah mu siman yang akan kembali menghiasi sepanjang jalan-jalan. Ramadhan memang seolah membangunkan banyak kebiasaan yang tak siuman selama berbulan-bulan di luar bulan tersebut, sehingga wajar adanya kalau orang beramai-ramai menyambutnya dengan suka cita. Di rumah kami, sebagaimana juga di Ramadhan-ramadhan sebelumnya, selain kebiasaan pada umumnya, kami menyambut ramadhan dengan sebuah tradisi yang kemudian kami menyebutnya 'ammuntuli bulang' (menyambut bulan). Saya tidak tahu pasti asal usul dari tradisi