Fenomena Baru dan Secercah Harapan (Catatan untuk MUSYDA IMM SUL-SELBAR XVIII)

Sebuah Catatan*

            Fenomena menarik menjelang Musyawarah Daerah (Musyda) IMM Sul-SelBar ke XVIII, adalah mengalirnya kritik keras terhadap DPD IMM Sul-Selbar. Galibnya adalah mempertanyakan eksistensi DPD IMM sebagai pucuk kepemimpianan di Sul-Selbar, ketidakmampuan dalam menyelesaikan periodesasi kepemimpinan, sekaligus daya dalam perannya merospon banyak persolan yang dianggap lamban.
            Yang menarik pula, tak kalah santernya adalah otokritik dari kalangan internal sendiri, sebagai bentuk ketidaksolidan dalam sebuah kepemimpinan. Ini menunjukkan bahwa perlunya revitalisasi gerakan. Itupun tak terbatas pada kritik. Diharapkan adanya tindaklanjut pula dalam upaya mengeksplorasi berbagai masalah yang perlu dijawab IMM Sul-SelBar sebagaimana yang tersebut diatas.
            Pada akhirnya gebrakan ini akan bermuara pada Musyda. Akan banyak isu strategis menjadi yang topik dalam Musyda. Sebut saja persolan komitmen kepemimpinan, kaderisasi, maupun sekte-sekte dalam gerakan. Dalam kerangka yang lebih luas lagi, IMM Sul-SelBar  dituntut pula untuk bagaimana responsif dan memperteguh kekuatannya dalam persolan kebangsaan baik lokal maupun nasional.
            Hal lain yang membuat lebih menarik lagi adalah dilaksanakannya Musyda IMM Sul-Selbar ini di kota Makassar, kiblat gerakan IMM di Indonesia bagian Timur. Mungkin ini merupakan upaya DPD mengembalikan IMM ke kejayaannya yang pernah tertoreh di kota daeng ini. Ditambah lagi tema yang diangkat adalah “integritas kepemimpinan untuk IMM yang berkarakter” semakin mempertegas untuk harapan itu.
            Cuma dibalik itu, ada kekawatiran baru. Banyak yang beranggapan dengan menilik pengalaman musyawarah-musyawarah sebelumnya isu strategis ini akan kurang seksama untuk dibahas. Peserta Musyda akan lebih tergiring untuk memusatkan perhatian pada perburuan ketua baru ataupun 13 formatur yang ideal menurut mereka masing-masing, ini bahkan sudah sangat Nampak tercium pasca pengumuman Musyda dipercepat oleh DPD IMM Sul-SelBar di Kab. Bantaeng bebrapa waktu yang lalu. Sesuatu yang tentunya bukan substansi utama dalam Musyda ini.

Mengapa Demikian?
Dalam tradisi IMM sebagai ortom dari Muhammadiyah, bukankah kursi kepemimpinan itu adalah amanah, sehingga jauh-jauh hari orang harus berpikir mampukah mengemban amanah itu.

“ketika amanah itu diserahkan kepada langit, langit runtuh karena tak mampu mengemban amanah itu.. ketika amanah itu diserahkan kepada gunung, gunung meletus tanda tak mampu menerima amanah itu. Ketika amanah itu diserahkan kepada laut, lautan tumpah pertanda tak mampu mengemban amanah itu. Dan ketika amanah itu diserahkan kepada manusia, manusia  tanpa pikir panjang dan penuh dengan kesombongan menerima amanah itu”  (QS. Al Ahzab: 72). 

Jangan sampai terlalu sibuk untuk berlomba dan memperebutkan, tetapi justru setelah terpilih dengan serta merta amanah itu menjadi terabaikan. Ambillah contoh kepada para pendahulu kita, sebut saja misalnya Djazman Alkindi, sang pendiri IMM ketika Muktamar Muhammadiyah 1995, tidak bersedia dicalonkan karena adanya konflik yang melibatkannya, makanya dia mengambil sikap demi stabilitas keamanan dan kepentingan organisasi.

            Kalaulah yakin diri sebagai kader untuk kesediaan menjadi pimpinan, kita hanya berharap bahwa semoga itu atas dorongan rasa cinta dan tanggungjawab kekaderan terhadap IMM. Kepemimpinan DPD ini harus ada yang melanjutkan, disamping itu keyakinan bahwa pencalonan oleh kader dalam hal ini yang merekomendasikan tidak boleh dikecewakan. Tetapi yang mesti pula adalah janganlah ada rebutan atau bahkan kampanye secara mencolok, apalagi saling membunuh karakter diantara kita. Sebuah pepatah “seiring bersimpang jalan, serumah berlain rasa” adalah sesuatu yang sangat tepat untuk kondisi internal IMM yang semoga saja ini tidak senantiasa dibudayakan.
Tradisi IMM dalam menentukan ketua, seperti layaknya memilih imam sholat. Diantara jamaah akan saling mempersilahkan. Walaupun sebenarnya ada sindiran juga, karena masing-masing katanya saling mempersilahkan, akhirnya yang menjadi Imam adalah orang yang tidak layak.
            Dengan parameter imam sholat, segala hal dapat diambil sebagai pelajaran, yang ditampilakan bukan Cuma berdasar perhitungan misalnya bacaan Qur’annya pasih, melainkan juga parameter lain misalnya hati, pengalaman, pengetahuan dan kematangan. Jangan juga sekadar memilih, misal memilih karena asal-usulnya, kedekatannya maupun karena terkenalnya. Pelajaran lain adalah bagaimana seorang imam itu betul-betul mampu menjadi imam yang baik, mengayomi dan bertanggungjawab.
Kepemimpinan IMM memang adalah kolektif kolegial, tetapi ketua sebagai pemegang mandat memiliki otoritas. Makanya kita berharap oleh ketua dan pimpinan lain yang terpilih di Musyda ini dapat melakukan revitalisasi diri untuk IMM, bergerak lebih dinamis untuk tak lagi jumud (mandek) seperti yang dirasakan selama ini.
Selamat dan Sukses Musyawarah Daerah Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sul-SelBar yang ke XVIII. Sebagai kader IMM tentunya melalui Musyda ini, semoga semua karakter dapat ditampung, maratabat demokrasi dalam ikatan senantiasa dijunjung tinggi, dan yang paling penting jua tradisi keteladanan tetaplah dijadikan patokan sebagai ciri Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.


*Tulisan ini dipublikasikan melalui Buletin Bulanan PC. IMM Kota Makassar, Edisi XVIII, Rabu 4 Desember2013 M, tepat pada momentum Musyawarah Daerah (Musyda) DPD IMM Sulselbar XVIII di Makassar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona