Idul Fitri dan Tradisi Halal Bihalal
Idul Fitri dan
Tradisi Halal Bihalal
Kasri Riswadi*
Tuisan ini dimuat di Kolom Opini Harian Radar Makassar, 27 Juli 2014
Tanpa
terasa akhirnya kita sudah berada pada akhir ibadah puasa. Ibadah
yang dimana selama satu
bulan kita jadikan sebagai training (latihan) bagi
mental dan fisik kita. Ia juga merupakan
gelanggang perjuangan yang maha hebat untuk mengatasi dan mengendalikan hawa
nafsu yang menjadi sumber kebinasaan manusia. Dan yang utama, puasa merupakan
batu ujian ketaatan manusia kepada Tuhannya.
Karena itulah puasa membuat suatu kristalisasi di antara mereka yang mengaku
dirinya muslim dan beriman. Kristalisasi antara yang asli dan imitasi.
Muara
dari pada puasa adalah idul fitri yang juga lazim kita sebut sebagai hari
kemenangan. Pada hari raya Idul Fitri (1 Syawal) itu
hendaknya seluruh potensi umat islam dikerahkan untuk menyambut hari
kebahagiaan itu dengan segala kehidmatan. Ia harus disambut bukan dengan cara
membakar petasan,
bersukaria di tempat-tempat pesta, makan yang berlebihan dan berlomba dalam hal
kemewahan duniawi yang lebih terkesan konsumtif dan mubazir, tetapi ia harus
disambut dengan mengagungkan asma Tuhan, mengumandangkan takbir, melaksanakan
shalat Id yang khusyuk dan dengan khutbah yang menyeru kepada bertakwa, beramal
membantu kaum melarat, utamanya dengan membayar zakat fitrah. Untuk lebih
menyempurnakan suasana penyambutan hari raya (1 Syawal) maka sebelum datang
menghadiri shalat Id, kita dianjurkan (sunnah) mandi dahulu, memakai pakaian
baik lagi bersih dan memakai wewangian.
Untuk
lebih menciptakan suasana ukhuwah, maka ada beberapa tradisi khazanah kita yang bermuatan ibadah
yang masih perlu dipertahankan, seperti tradisi ziarah ke makam guna mendoakan
leluhur yang telah mendahului, tradisi berkunjung kerumah (silaturahim), mengunjungi rumah fakir miskin dan yatim
piatu dengan membawa sedekah, berhalal- bi halal, dan masih banyak lagi tradisi
1 syawal yang positif dan bernilai ibadah yang masih perlu dipertahankan.
Tradisi Halal bihalal
Di antara bentuk tradisi yang sarat
akan muatan nilai ibadah adalah halal bihalal. Di dalam Al-Qur’an maupun as
sunnah, kita tidak menemukan suatu penjelasan tentang arti halal bihalal.
Istilah tersebut memang khas indonesia, bahkan boleh jadi pengertiannya akan
kabur di kalangan Non-Indonesia, walaupun yang bersangkutan paham ajaran agama
dan bahasa arab. Secara definitif, istilah halal bihalal dapat memberikan tiga
arti yang berbeda. Dari segi hukum, makna kata halal merupakan lawan kata
haram. Halal dipertentangkan dengan haram, apabila diucapkan dalam konteks halal bihalal, akan
memberikan kesan bahwa dengan cara tersebut mereka yang melakukannya akan
terbebas dari dosa.
Dari segi linguistik, kata halal
terambil dari akar kata halla atau halala yang mempunyai berbagai bentuk dan
makna sesuai dengan rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain:
menyelesaikan problem atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan atau
melepaskan ikatan yang membelenggu. Dengan demikian, makna kata halal bihalal
dalam tinjauan ini seakan akan kita menginginkan adanya suatu yang mengubah
hubungan kita yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair,
dan dari yang terikat menjadi terlepas
atau bebas, walaupun kesemua yang disebut
diatas belum tentu haram. Arti yang lain adalah dari tinjauan Qurani serta kesan-kesan
penggunaan kata halal dalam Al-Quran. Dari segi ini, dapat disimpulkan bahwa
halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan.
Dengan kata lain, Al-Quran menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh
setiap muslim harus merupakan sesuatu yang baik lagi menyenangkan. Dari
beberapa pengertian di atas, maka halal bihalal (silaturrahim) mnuntut upaya
maaf-memamafkan. Kata maaf, yang berasal dari Al-Quran al-‘afwu, berarti
“menghapus” karena yang memaafkan manghapus bekas-bekas luka dihatinya.
Artinya, bukanlah memaafkan namanya manakala masih tersisa bekas luka itu di
hatinya, bila masih ada dendam yang membara.
Itu
sebabnya berdasarkan teks-teks keagamaan, para pakar hukum fiqh menuntut dari seseorang
yang memohon maaf dari orang lain agar terlebih dahulu menyesali perbuatannya,
bertekad untuk tidak melakukannya lagi, serta memohon maaf sambil mengembalikan
hak yang pernah diambilnya, baik berupa materi maupun immateri.
Secara
praktis, hal itu memang akan sulit
dilakukan oleh seseorang yang telah berbuat kesalahan. Artinya, manakala
seseorang yang berbuat kesalahan itu menyampaikan kata maaf, mungkin bukannya
maaf yang diterima, namun justru kemarahan dan putus hubungan. Dalam hal ini
Rasulullah SAW mangajarkan kepada kita sebuah do’a: “Ya Allah sesungguhnya aku
memiliki dosa pada-Mu dan dosa yang kulakukan pada mahluk-Mu. Aku bermohon ya
Allah agar engkau mengampuni dosa yang kulakukan pada-Mu serta mengambil alih
dan menanggung dosa yang kulakukan pada mahluk-Mu”.
Sebenarnya,
di dalam Al-Quran terdapat
peringkat yang lebih tinggi dari al-‘afwu, yakni al-safhu. Kata ini pada
mulanya berarti kelapangan dari sesuatu. Darinya dibentuk kata safhatb yang
berarti lembaran atau halaman, serta musafahat yang berarti berjabat tangan.
Ini berarti, seseorang yang melakukan al-safhu, dituntut untuk “melapangkan
dadanya” sehingga mampu menanggung segala ketersingungan serta dapat pula
menutup lembaran
lama dan membuka lembaran baru.
Karenanya,
dalam momen menyambut Idul
Fitri ini marilah kita buka lembaran baru dan tutup lembaran lama. Membuang perbedaan yang berbuah perpecahan dengan mewujudkan
sikap ihsan, karena demikianlah yang paling disukai oleh Allah Swt. Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri
1435 H. Semoga predikat
taqwa dapat kita raih.(*)
Penulis :
Kasri Riswadi (Ketua Koordinator Komisariat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Unismuh Makassar Periode 2013-2014)
Komentar
Posting Komentar