Pengalamanku dengan Teman yang Bercadar

ilustrasi

Beberapa hari ini, berita mengenai larangan menggunakan cadar di institusi pendidikan banyak menghiasi media daring. Hal itu terjadi setelah adanya kebijakan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang mengeluarkan surat keputusan untuk "membina" dan memebrikan pilhan bagi mahasiswa bercadar di kampusnya.

Akibat kebijakan ini, pro dan kontra pun terjadi, ada yang mendukung tapi tak sedikit yang menolak dengan berbagai argumentasi. Ada yang menuding bahwa kebijakan rektor ini diskriminatif dan asumtif. (Baca : https://tirto.id/argumen-lemah-rektor-uin-yogya-soal-larangan-cadar-cFMy ).

Tentang Pengalamanku dengan teman yang bercadar


Suatu waktu saya pernah sekelas dengan perempuan bercadar, bahkan kami akrab. Karena keakraban itu, kami terdorong untuk sering bertukar pikiran, mendialogkan sedikit banyak hal seputar akademik, moral, dan kadang-kadang menyentil sebab hal yang membuatnya bercadar.

Saya sendiri sebenarnya tidak sepaham dengan ajaran yang menuntut perempuan bercadar, tapi saya juga tidak menolak kehadiran mareka selama alasannya rasional dan ia tetap patuh pada aturan di mana ia berpijak.

Mengenai teman sekelas tadi, saya menilai keputusannya bercadar bukan atas dasar paham radikalisme, sebab ia punya alasan yang dapat diterima, ternyata ia bercadar karena permintaan keluarganya. Dalam keseharian ia juga tak pernah menunjukkan indikasi untuk memaksakan kehendak, tetap terbuka untuk berdialog, patuh pada aturan kampus dan negara dengan memenuhi segala proses dan persyaratan yang diadakan.

Dari temanku itu, saya pun berkesimpulan sementara. Bercadar itu bukan sekadar paham ideologis, tapi bisa juga aksesoris dalam hal ini aksesoris moral untuk menjaga dirinya dari pandangan dan gangguan orang lain yang bukan muhrimnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona