#PatunganGizi Bagi Pasien TBC

TBC merupakan penyakit klasik. Ia telah eksis sejak tahun 1882. Meskipun ada pengobatannya, TBC masih tetap mengancam, terlebih di negara-negara berkembang. WHO Global TB Report 2018 menyebut estimasi pengidap TBC di Indonesia mencapai 842 ribu kasus yang menempatkannya pada posisi tiga dunia dalam daftar negara dengan kasus TBC tertinggi.

Menjadi seorang pengelola program penaggulangan penyakit Tubercolisis (TBC) tidak hanya menjadikan diri sebagai seorang profesional, tapi juga mengasah kepekaan sosial yang mendalam. Setidaknya itulah yang kualami setelah menggeluti bidang ini selama empat tahun terakhir.

Berbagai pengalaman, kisah pedih dan perjuangan dalam berinteraksi dengan pasien TBC telah saya lalui dalam rentan waktu itu. Kepedihan paling terasa adalah menyaksikan banyak pasien TBC yang tak berdaya karena penyakit yang mejangkitinya. Pengobatan yang butuh waktu berbulan-bulan dengan suntik setiap hari dan menelan obat dengan jumlah banyak, stigma buruk yang didapatkan dari lingkungan bahkan keluarga. Belum lagi banyak diantara mareka yang harus berhenti atau diberhentikan dari tempat kerja karena penyakit yang disebabkan oleh kuman micobacterium tuberculosis itu.


Salah satu pasien TBC, Zulkifli (29 tahun), mengalami situasi tersebut. Ia harus berhenti bekerja karena terdiagnosa TBC. Sebelumnya ia bekerja sebagai kenek mobil kampas. Ia pun menjalani pengobatan selama enam bulan dan selesai, tapi karena tidak melakukan kontrol , TBC-nya kambuh kembali bahkan kali ini ia didiagnosa TBC MDR (multidrug resistant) atau TBC kebal obat sejak Juni 2019 lalu. Zulikifli semakin dalam situasi sulit, karena ia juga telah ditinggalkan oleh sang istri.

Kedua orang tua Zulkifli juga telah berpisah. Maka untuk berobat kini, Zulkifli hanya didampingi oleh bapak kandungnya seorang, yang juga tergolong kurang mampu. Bahkan sesaat setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit, ia tertahan karena tidak adanya biaya, ia menerima tagihan lebih dari Rp. 5.000.000. BPJS miliknya juga sudah lama menunggak.

Zulkifli hanya tinggal berdua bersama ayahnya, pak Diamin di sebuah pemukiman padat penduduk di daerah Pannampu. Ketika berkunjung ke sana, saya harus masuk ke gang yang luasnya sekitar satu meter. Gang tersebut bercabang dan pada cabang terakhir adalah gang buntu, di sanalah tepat kediaman Zulkifli.

Sebuah lembaga donor internasional bernama Global Fund bermitra dengan Kementrian Kesehatan sebenarnya telah mengucurkan dana hibah berupa biaya transfor berobat bagi pasien TBC MDR sebesar Rp 750.000 ribu perbulan, syaratnya pasien harus aktif dan rutin meminum obat. Namun, Zulkifli belum juga menerima itu sejak awal berobat Juni lalu hingga November. "Iye sudah disampaikan itu tapi tidak adapi pernah kami terima," tutur Zukifli saat ditemui, belum lama ini.

Sementara menunggu cairnya bantuan transfor tersebut, yang sebenarnya juga belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pendukung keberlangsungan proses pengobatan seperti asupan makanan yang bergizi. Pemenuhan gizi bagi pasien TBC MDR sendiri merupakan hal yang sangat esensial dalam mendukung serangkaian proses pengobatan, apalagi pasien tersebut berada di bawah garis kemiskinan.

Tentu, selain Zulifli masih banyak pasien yang senasib, bahkan boleh jadi lebih miris. Untuk itu, saya bersama rekan ingin mengajak para dermawan di Indonesia untuk membantu Zulkifli dan puluhan pasien TBC MDR lain yang kurang mampu di Sulawesi Selatan agar bisa menjalani masa pengobatan dengan baik.

Bantuan itu bisa kita salurkan melalui flatform digital kitabisa.com di link https://kitabisa.com/campaign/patungangizipasientb

Semoga berkenan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona