Rezim Seenaknya, Rakyat Pasrah Saja

 Sebuah Catatan Berantakan


 

Sepekan terakhir informasi tentang aksi demonstrasi mewarnai linimasa kita. Aksi yang terus berlanjut ini sebagai bentuk kekecewaan rakyat terhadap pemerintah dan wakil rakyat yang secara kontroversial mengesahkan Umnibus Law  Undang-undang Cipta Kerja.

Asumsi para demonstran dan para penolak UU tersebut jelas, banyaknya ketidakberesan dalam proses hingga pengesahan UU yang menurut informasinya ada seribuan halaman itu.

Memang tidak perlu berpikir keras dan analitis untuk melihat fenomena rezim ini, mereka sangat terang benderang mempertontonkan tingkah dan laku saat menghendaki sesuatu. Akan selalu ada siasat untuk mewujudkan kehendak baik secara terang-terangan maupun setengah terang-terangan. Jika ada rakyat yang menolak, maka oleh pemerintah ia dianggap hanya bagian kecil, artinya pemerintah ingin mengatakan rakyat yang lain diam saja yang artinya mereka setuju. Itu jika ketidaksetujuan disampaikan secara langsung, protes di media sosial tak kalah siap menghadang, jika seorang rakyat protes di media sosial, pemerintah sudah menyiapkan buzer yang siap setiap saat menyerang akun para warganet yang dianggap membangkang dan kritis terhadap sikap pemerintah.

Dalam kesempatan lain, ada tokoh yang punya power dan daya besar protes pemerintah. Itu ancaman dan rezim sadar dan sagat paham, maka mereka juga telah menyiapkan aneka siasat untuk membendung. Sebuah petuah tidak ada manusia sempurna yang bebas dari dosa, meski sekecil biji zarrah, betul-betul mampu dimanfaatkan oleh rezim. Resapi saja sejak rezim ini berkuasa, kita langsung begitu akrab dengan istilah kriminalisasi hingga makar.

Sampai Kapan akan begini?

Sudah saatnya harus jujur-jujuran dengan apa kata hati dengan jeritan-jeritannya. Kepercayaan sudah kita berikan, melalui dukungan dalam proses yang kita anggap demokratis, tapi apa boleh buat janji dan harapan jauh dari ekpektasi. Kita coba berpikir positif tentang setiap kebijakan dan segala sesuatunya, ada yang masuk akal tapi lebih banyak yang tidak. Pada fase selanjutnya, kita coba bersabar sembari memberikan kesempatan bahwa mungkin kita saja yang tidak paham dengan langkah rezim karena saking revolusionernya, alih-alih berbuah hasil malah buntung, kita kian tampak dikelanbui. Pengangguran meningkat, TKA makin ramai.

Akhirnya, kita kritisi dan sampaikan ketidaksetujuan, tentu dengan jalan yang konstitusional. Bagaimanapun rezim ini terpilih secara demokratis dan konstitusional, sebagai rakyat hal itu harus dipatuhi apalagi jika kita pernah jadi bagian dari yang membuat mereka berkuasa dan mewakili kita. Tapi jalan ini rupanya sudah bikin skeptis juga sebelum kita bertindak, yang di sana orangnya juga, kelompoknya juga. Hanya membuang waktu, tenaga dan pikiran saja jika menempuh jalan tersebut.

Layaknya perntanyaan untuk Pandemi Covid-19 yang belum diketahui kapan berakhir, pertanyaan yang sama kita lontarkan untuk konteks ini. Sampai kapan kita begini, kalau secara konstitusi paling tidak sampai 2024, saat pemilu kembali dilaksanakan. Itu pun kalau dilaksanakan, kalau mereka bersepakat bikin kebijakan lagi dengan alasan-alasan yang seolah rasional bahwa karena pandemi atau karena ini karena itu, pemilu kita tunda satu tahun lagi, dua tahun lagi atau hingga waktu yang tidak ditentukan sampai situasi memungkinkan. Celakanya yang menentukan sudah memungkinkan atau belum memungkinkan juga mareka.

Akhirnya semakin runyamlah kita, mau bagaimana lagi, kita pasrah saja, jalani saja, istilah kontekstualnya kita beradaptasi kebiasaan baru. Kebiasaan diperlakukan seenaknya dan kebiasaan-kebiasaan lain yang akan membuat kita terbiasa dengan sesuatu yang tidak seharusnya kita biasakan.

Oh iya, rezim dan wakil rakyat yang saya maksud dalam catatan berantakan ini belum tentu negara +62, ya. Jadi jika ada yang merasa, gak usah terlalu baper. Biasakan saja.

 

Kasri, Painung Kopi+Kental Manis (Bukan Susu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona