Eufemisme Penguasa dan Wacana Presiden Tiga Periode


Opini ini dimuat di Harian Tribun Timur pada 22 September 2021

-----

Saat menyampaikan sesuatu, seseorang selalu berupaya agar apa yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan gaya bahasa. Eufemisme merupakan salah satu gaya bahasa yang berperan penting dalam interaksi sosial, terutama untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial. Gaya bahasa eufemisme berfungsi untuk mengganti kata atau ungkapan yang bermakna kasar dengan kata atau ungkapan yang lebih halus. Dengan menggunakan eufemisme, seseorang bisa menyampaikan pesan dengan lebih beretika, sopan, dan santun.

Eufemisme dapat ditemukan dalam komunikasi sehari-hari. Eufemisme digunakan banyak kalangan dengan pelbagai tujuan, salah satunya oleh kalangan penguasa atau pemimpin negara. Di tangan penguasa, eufemisme bisa menjadi alat untuk mengaburkan transparansi.

Warisan Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, eufemisme sangat sering digunakan oleh penguasa, bahkan penggunaannya tampak berlebihan hingga memunculkan kecenderungan hiprokrit. Rezim Soeharto memanfaatkan penghalusan ini sebagai cara untuk mengaburkan fakta. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari tujuan politik yang diinginkan Soeharto agar tidak menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Anang Santoso (2012) mewedarkan diksi-diksi eufemistis yang kerap didayagunakan rezim Soeharto. Sebut saja penyesuaian harga (seharusnya kenaikan harga), keluarga prasejahtera (seharusnya keluarga miskin), bantuan asing (seharusnya pinjaman/utang), penggunaan fasilitas negara (seharusnya penyelewengan), dan daerah belum berkembang (seharusnya daerah tertinggal).

Eufemisme akhirnya seperti menjadi suatu warisan yang dapat digunakan untuk upaya melenggangkan kekuasaan. Setelah memasuki era reformasi, ketika pemerintah harus menaikkan harga BBM misalnya, istilah yang digunakan bukanlah “menaikkan harga BBM”, tapi istilah “penyesuian harga minyak mentah dunia”.  Era Presiden Jokowi khususunya, lebih halus lagi, ia menggunakan istilah “mengalihkan subsidi” dari subsidi BBM dialihkan untuk pembangunan infrastruktur. Sehingga, tak mengherankan bahwa seseringnya menaikkan harga BBM, di era Jokowi nyaris tidak ada kericuhan ataupun kegaduhan.

Semakin Melekat

Pemerintah rasanya menyadari betul bahwa masyarakatnya memang lebih suka dengan hal-hal yang diperhalus (eufimisme), saat pandemi melanda dunia dan khususnya tanah air, untuk meredam kepanikan dan memberlakukan berbagai larangan, digunakanlah istilah yang serba halus. Diawali dengan penggunaan ragam istilah seperti OTG (orang tanpa gejala), ODP (orang dalam pemantauan), PDP (pasien dalam pengawasan), untuk membuat kesan masyarakat bahwa pandemi ini biasa saja. Kemudian dalam konteks penerapan larangan, ada PSBB (pembatasan sosial berskala besar) hingga PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Sempat digunakan istilah PPKM darurat dan mikro darurat. Tapi, penggunaan kata “darurat” masih dianggap kasar. Lalu digantilah dengan PPKM level, dari level 1 hingga level 4, yang berlaku hingga saat ini.

Demikianlah bahwa sesungguhnya PPKM itu adalah larangan-larangan yang dihaluskan oleh pemerintah. Cara Presiden Jokowi mengumumkan pemberlakuan PPKM setiap pekan, adalah upaya “mengeufimismekan” sebuah larangan selama satu bulan, tapi dibuat seakan-akan hanya seminggu.

Eufemisme kian melekat, semakin hari semakin banyak pula diksi atau ungkapan eufemisme yang diproduksi oleh pemerintah. Saat hendak melakukan pergantian menteri, alih-alih menyatakan resuffle kabinet, yang digunakan adalah penyegaran, keinginan merevisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga dihaluskan dengan perlunya penyempurnaan secara terbatas, masyarakat miskin menjadi masyarakat berpenghasilan rendah, ada pula ungkapan pelambanan ekonomi alih-alih krisis ekonomi.

Kekuasaan memang punya otoritas untuk menggunakan bahasa sebagai upaya untuk mendominasi. Seperti dinyatakan Habermas (dalam Kurniawan, 2021): “Language is also a medium of domination and power”. Artinya, bahasa digunakan sebagai suatu proses dominasi  dan penggunaan kekuasaan sebagai sarana utama politik.  Dengan kata lain, penggunaan bahasa dapat merefleksikan bagaimana kekuasaan digunakan.

Belakangan ini tengah bergulir wacana perpanjangan masa jabatan Presiden untuk tiga periode yang menimbulkan pro dan kontra. Di akar rumput telah jelas banyak penolakan, tetapi bagaimana dengan Presiden Jokowi sendiri dan pihak-pihak yang punya otoritas (DPR, DPD, maupun elite politik/pimpinan parpol)? Semoga tidak kembali menyalahgunakan eufemisme dalam meresponnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona