Surat Untuk Para Mubalig

jamaah bukan mubalig

"Tahukah anda, bahwa kalimat yang paling dinantikan oleh sebagian besar jamaah saat hendak mendengarkan ceramah adalah kalimat, "jamaah, ini yang terakhir atau yang paling terakhir'."

Saya terkadang heran dengan bapak-bapak mubalig. Di era yang bapak sendiri menyebutnya sebagai era modern, justru masih sangat tradisional dalam membawakan suatu ceramah. Dari konsep ceramah, gaya dan model pemaparan, hingga penggunaan bahasa. (Baca : kurang inovatif).

Selain itu, penggunaan durasi waktu yang tidak diperhatikan baik untuk dikelola secara proporsional juga menjadi suatu hal yang sangat vital. Terkadang materi ceramah pun sebenranya baik namun karena pengelolaan waktu yang tidak pas akhirnya ceramah itu menjadi kabur dan akhirnya terasa membosankan bagi jamaah.

Ini kesah kami, maka sebagai jamaah yang baik tentu dibalik keresahan itu ada masukan dan harapan kami pada bapak mubalig agar berbenah dan selalu meningkatkan kualitasnya (materi, bahasa, metode) dan juga memperhatikan kondisi psikologis jamaahnya.

Beberapa masukan kami, Pertama, dalam teori Retorika, audiens atau pendengar itu rata-rata hanya memiliki 15-20 menit untuk fokus mendengarkan suatu paparan. Teori ini kiranya menjadi bahan pertimbangan. Kedua, bahasa (pemilihan kata atau diksi)buatlah jamaah teduh dengan tuturan-tuturan yang santun dan bersahabat. Ketiga, kondisi psikologis, kesiapan mental, meski diketahui kita bergama sama, satu akidah tapi bapak juga harus tahu kadang kultur kita beda, latar belakang budaya juga beda, sipakainga'ki tapi juga haruski sipakalebbi dan assipakatau.

Semoga menjadi perhatian bapak mubalig.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona