Refleksi Kuliah Semantik dan Leksikografi



"Kasri, excellent! Ibu senang dengan seluruh memori yg dituangkan dlm tulisan ini."  Begitu pesan ibu dosen setelah membaca refleksi ini, tanpa ditambah dan dikurangi. Jadi sesungguhnya esai ini tugas dari dosen,  sudah di stor dan dibaca dosen bersangkutan. Saya bagi di blog supaya yang lain juga dapat membacanya, semoga bermanfaat.

What Happened?

Semester akhir tahun akademik 2017/2018 di Universitas Hasanuddin, secara resmi dimulai pada tanggal 29 Januari 2018, tak terkecuali bagi mahasiswa program pascasarjana Bahasa Indonesia. Melewati semester awal dengan lima kuliah, jumlah yang sama juga harus dihadapi pada semester akhir tahun ajaran ini. Persiapan pun dilakukan, kuliah diikuti. Sebagaimana jadwal yang dikeluarkan pihak kampus, saya bersama teman satu kelas yang lain akan menunaikan lima mata kuliah itu pada hari Selasa dan hari Jumat dalam rentang waktu Januari-Mei 2018.

Diantara lima mata kuliah yang saya ikuti, satu diantaranya adalah mata kuliah Semantik dan Leksikografi, yang diampuh oleh tiga dosen, Dr. Ikhwan M. Said, M. Hum., Dr. Gusnawaty, M. Hum., dan Dr. Ade Yolanda Latjuba, S.S., M. Hum.  Pertemuan pertama kuliah pun telah dilakukan pada Jum’at, 2 Februari 2018, oleh Ibu Gusnawaty. Seperti mata kuliah lainnya materi kuliah ini juga akan tersaji dalam 16 kali pertemuan, namun bedanya saat mata kuliah lain umumnya diampuh oleh dua dosen sehingga memudahkan untuk membagi masing-masing dengan delapan pertemuan, mata kuliah ini justru diampuh oleh tiga dosen, sehingga hal tersebut menjadi problem tersendiri, terlebih lagi mata kuliah ini secara terang hanya mengajarkan dua cabang ilmu, Semantik dan Leksikografi.

Problem ini pun disinggung ibu Gusnawaty disela-sela memperkenalkan diri dan perjalanan hidupnya dihadapan kami, mahasiswa. Kami pun menimpali bahwa Pak Ikhwan sebenarnya juga pernah menyinggung perihal tersebut saat akan mengakhiri kuliah Analisis Wacana tiga hari sebelumnya. Kebetulan Pak Ikhwan yang membimbing kami dalam mata kuliah tersebut. Menurut Pak Ikhwan saat itu, dirinya akan berkoordinasi dengan ibu Gusna dan ibu Ade soal mata kuliah Semantik dan Leksikografi. Ia juga sudah memiliki gambaran teknis untuk ditawarkan, pertemuan 1-5 oleh Ibu Ade dengan pembahasan Semantik secara teori, kemudian pertemuan 6-11 oleh Pak Ikhwan sendiri yang akan membahas kelanjutan Semantik dan pengantar Leksikografi, kemudian Ibu Gusna akan melanjutkan pertemuan 12-16 dengan praktik mengoprasikan IT dan pembuatan kamus.  Sebatas itu, hingga Ibu Gusna telah tiba di kelas untuk pertemuan pertama pada hari Jum’at pagi. Perihal ini, terlihat Ibu Gusna berusaha menghubungi Pak Ikhwan untuk konfirmasi, berkali-kali sampai Ibu Gusna berhasil berbicara dengan Pak Ikhwan sekitar 10 menit. Kesimpulan dari pembicaraan mereka saat itu saya sendiri kurang tahu, karena selepas menelfon, Ibu Gusna mengatakan akan mengkoordinasikannya lagi. Ia segara melanjutkan perkenalan dirinya dan memulai perkuliahan.

Senyum  menampakkan keceriaan dengan gaya tutur yang penuh keakraban. Begitulah saya menggambarkan ibu Gusnawaty dalam pertemuan pertama ini, ia memperkenalkan dirinya secara kronologis, lahir dan menempuh pendidikan dasar dan menengah di Soppeng, masuk S1 di Unhas, mendaftar sebagai dosen, terangkat sebagai pegawai negeri sipil (pns), lanjut S2, menikah, menjadi doktor bidang linguistik, punya anak yang calon dokter, hingga pengalaman mengajarnya selama ini. Setelahnya ia juga ingin mengenal kami, melalui daftar hadir ibu Gusna menyebut nama mahasiswa satu-persatu.

Ibu Gusnawaty mengambil spidol, mendekati papan tulis sambil bicara tentang makna. Ia menulis Semiotika, yang oleh Ferdinand de Saussure membaginya menjadi petanda dan penanda. Kemudian berurut ke bawah menulis Semantik dan selanjutnya Pragmatik. Ketiga cabang ilmu itu berbicara tentang makna, namun berbeda dalam konteks kajiannya masing-masing. Semiotika mempelajari tanda-tanda untuk menemukan makna. Semantik melihat makna secara logika dari konvensi-konvensi masyarakat. Sedangkan Pragmatik melihat makna dari konteksnya.

Seusai menjelaskan pengantar dan merasa mahasiswa dapat memahami, ibu Gusna kembali menjelaskan tentang penugasan yang sering dilakukannya pada mahasiswa, mendefenisikan makna hingga membuat kamus. Percobaan dilakukan, Ibu Gusna meminta kami untuk memaknai kata pengantin. Sebagai sesuatu yang baru, saya dan teman-teman yang lain pun tampak masih meraba-raba dan enggan untuk menyuarakan pendapat.  Melihat reaksi mahasiswa, ibu Gusna menambah kata yang coba untuk didefenisikan, “saya tugaskan kalau begitu, coba defenisikan lima kata ini dengan pertimbangan semiotika, semantik dan pragmatik.” Lima kata itu adalah pengantin, perempuan, cantik, langit, dan mandi. Selang beberapa menit, masing-masing mahasiswa diminta membacakan hasil pemaknaannya. Tak satu pun pemaknaan kami yang sempurna, namun oleh ibu Gusna merangkum enam pendapat dari kami dalam satu kesatuan sehingga menjadi satu pemaknaan yang utuh.

Seakan tak ingin yang diajarkankannya pada mahasiswa berlalu begitu saja, Ibu Gusna menitipkan tugas, membuat refleksi pertemuan pertama dalam bentuk esai. Refleksi mencakup pertanyaan, what happened, what happened to me, so what, now what.


What Happened to me?

 
Ada sesuatu yang baru dari mata kuliah yang saya ikuti kali ini. Hal baru yang saya maksud itu adalah, pertama tentang pembuatan kamus yang kemudian akan menjadi tugas berat buat kami di semester ini. Meski begitu, saya sadar bahwa pada hakikatnya demikianlah memang mahasiswa, siap menerima tugas seberat apapun, bila tak siap kenapa mau jadi mahasiswa. Kedua, tentang penugasan refleksi ini, di satu sisi bisa saja dianggap pekerjaan tambahan lagi yang menambah deretan tugas lain yang juga menumpuk, tapi di sisi lain penugasan refleksi ini menjadi suatu hikmah tersendiri, mengasah ingatan dengan keharusan menulis rekam proses kegiatan dan aktivitas kuliah, ia juga mengasah kemapuan menulis secara kronololis sekaligus membuka kesadaran akan kesabaran dan kedisiplinan dalam belajar. Ketiga, mengenai kuliah Semantik dan Leksikografi ini, saya menyadari kurangnya pengetahuan tentang dua cabang linguistik tersebut. Semantik memang pernah saya jumpai saat s1 dulu, sekitar 4 tahun yang lalu, namun itu sebatas perkenalan saja, Semantik sebagai studi tentang makna. Soal Leksikografi, namanya saja baru kujumpai saat berstatus mahasiswa pascasarjana, melecaknya melalui google dan mendapat sedikit gambaran, kuliahnya baru akan kuikuti untuk pertama kalinya pada kesempatan ini.

So what?

 
Mendalami Semantik dan Leksikografi tak cukup hanya dengan mengikuti kuliah dosen, hal itu juga diakui Ibu Gusnawaty. Beliau mendorong dan menekankan untuk mengakses banyak bacaan baik melalui buku-buku maupun menelusuri internet dengan mengunduh jurnal dan informasi lain yang terkait. Saya terpikir lagi, menjadi mahasiswa sepertinya memang harus totalitas, tak boleh setengah-setengah. Bila untuk satu mata kuliah ini saja harus demikian, hal yang sama tentu juga barlaku untuk mata kuliah yang lain. Dengan waktu yang dimiliki hanya tujuh hari dalam satu pekan, 24 jam dalam sehari, enam puluh menit dalam satu jam, musatahil dengan semua tuntutan ini maka waktu akan menjadi delapan hari dalam sepekan dan seterusnya. Saya harus mampu mensiasati waktu untuk semua ini, bisa jadi akan tidur lebih larut dari sebelumnya dan akan bangun lebih pagi dari sebelumnya.

Now what?

 
Akhirnya, saya harus belajar yang lebih giat lagi, mencari dan membaca buku lebih banyak lagi, serta mempersiapkan diri secara lebih serius untuk tantangan-tantangan besar ke depan yang harus kuhadapi. Sementara itu, untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tugas leksikografi, pada pertemuan kuliah pada Jum’at (2/2) lalu, Ibu Gusna telah mengarahkan untuk mengunjungi situs www.sil.org serta mendownload flex (field language explorer), aplikasi yang akan digunakan nantinya dalam membuat kamus.

Kesimpulan bagi saya, mulai sekarang kita tak boleh berpikir tentang hari ini saja, tapi harus jauh ke depan. Mengerjakan tugas-tugas sebagai pembelajaran dan bekal diri, sehingga kelak saat kuliah dapat diselesaikan, tak hanya titel akademik yang disandang, namun ilmu dan berkahnya sehingga dapat menularkannya pada yang lain dan membawa maslahat bagi kehidupan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Falsafah Hari, Pesan Untuk Kader IMM

Belajar Dari Prof dr Budu

Tuberculosis di Tengah Pandemi Corona